Translate

Selasa, 02 Juni 2009

SEPENGGAL KALIMAT ASA


Tak ada yang menginginkan hidupnya menderita. Begitupun aku. Namun apa daya kita sebagai seorang manusia untuk menolak apa yang telah menjadi ketetapan-Nya. Masih melekat di hati dan takkan hilang dari ingatan, tentang masa laluku. Masa lalu yang begitu pahit.
* * *
Aku adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Aku hidup bersama dengan kedua orang tuaku, seorang kakak perempuan serta kakek dan nenek. Keluarga kami bukanlah kelurga kaya. Malah bisa dibilang masih jauh dari kecukupan. Tapi kami hidup bahagia. Ya, memang kekayaan bukanlah tolak ukur dari sebuah kebahagiaa. Tapi ketenangan hatilah yang akan mengawali terciptanya sebuah kebahagiaan, dan disini, di keluarga yang masih miskin ini aku bisa mendapatkannya. Dengan kasih sayang dari orang-orang di rumah aku merasa cukup, walaupun kadang aku iri bila melihat teman yang mempunyai mainan bagus dan aku tak memilikinya. Aku juga sering menangis manakala hal itu terjadi. Biasanya aku lantas merengek pada orang tuaku untuk segera membelikan mainan itu. Tapi karena memang mereka tidak mampu memenuhinya, mereka lalu datang kepadaku dan berkata dengan halus,
“Ina harus sabar, bapak sama ibu sekarang belum bisa beli mainan itu untuk Ina. Nanti kalau bapak sudah punya uang pasti bapak belikan. Ayo sekarang Ina keluar.”
Biasanya saat berkata demikian bapak dan ibu sedang berusaha menyuruhku keluar dari kolong tempat tidur. Ya, kolong tempat tidur. Itulah pelarianku ketika aku sedang marah. Tak serta merta aku keluar setelah dibujuk oleh ayah ibuku. Baru setelah aku merasa dadaku sesak karena terlalu lama tengkurap, aku keluar. Ayah ibu pun tetap setia menungguiku dengan kesabaran mereka. Mungkin mereka merasa bersalah padaku. Ketika aku keluar biasanya bapak langsung meraihku dan meletakkanku di pangkuannya. Aku masih teringat waktu itu ibuku menyampaikan pesan yang samapai kapanpun akan selalu terngiang-ngiang di telingaku.
“Ina, kita memang miskin, tapi kita tidak perlu menyesal dengan keadaan ini. Miskin bukan berarti hina asal kita menerimanya dengan ikhlas dan tetap berusaha agar tidak tergantung dengan orang lain. Ibu yakin, nanti kamu akan menjadi orang yang sukses asal kamu mau belajar sungguh-sungguh, pesan ibu, saat kamu menjadi orang yng berhasil nanti, hiasilah hidupmu dengan ketawadhuan ya…”
Aku hanya mengangguk tanpa paham yng ibuku ucapkan. Yng jelas hatiku saat itu menjadi tenang. Bukan karena nasehat itu, tapi karena kasih sayang seorang ayah yang sedang memangku sambil membelai kepalaku dan seorang ibu yang saat itu duduk bersimpuh di depanku sambil memegangi kedua tanganku. Hh…hangatnya kasih sayang mereka.
* * *
Jam 6 pagi, seperti biasanya aku baru bangun tidur. Dengan mengucek kedua mata, aku berjalan menuju kamar mandi di belakang rumahku. Sebenarnya belum pantas disebut kamar karena tempatnya masih terbuka. Di sana aku temui nenek yang sedang memberi makan ayam-ayamnya.
“Na, cepetan wudhu terus shalat. Nanti mandi, sarapan, langsung berangkat aja, uangnya di atas meja.” Ucap nenek.
“Tapi kan belum pamitan sama Bapak Ibu, Nek, emangnya Bapak sama Ibu kemana?”
“Lagi nganter Ibumu ke dokter Toni. Semlam ibumu muntah-muntah.”
“Ibu sakit, Nek?”
“Nggak papa, paling masuk angin, udah cepetan, nanti telat lho!”
“Iya, Nek.”
Akupun melaksanakan apa yang nenek perintahkan. Begitu selesai shalat, aku mandi, sarapan, dan langsung berangkat sekolah bersam kakakku Asih. Kami sekolah di SD 3 Kedung Ringin. Aku kelas satu dan kakakku kelas empat. Jarak rumah kami dengan sekolah tidak jauh. Hanya dengan waktu 15 menit kami sudah sampai disana.
Sewaktu di sekolah aku tidak bisa fokus mengikuti pelajaran. Pikiranku masih tertuju pada ucapan nenekku tadi pagi, tentang keadaan ibuku. Aku khawatir kalu ibuku benar-benar sakit.
Akhirnya begitu bel pulang sekolah berbunyi aku langsung menuju ke kelas mbak Asih dan bergegas pulang. Di jalan kami berdua tak banyak bicara . kami sibuk dengn pikiran kami masing-masing. Aku sibuk dengan kekhawatiranku pada ibu dan mbak Asih, aku tak tau apa yang ada di pikirannya. Yang jelas kami terburu-buru dan ingin segera sampai rumah.
Saat tiba di halaman rumah, kami sudah dihadang oleh ibu di depan pintu dengan senyum hangatnya, sungguh hatiku sangat senang. Itu berarti ibu tidak sakit. Tapi apa yang membuatnya tampak begitu bahagia? Belum sempat aku dan mbak Asih mengucapkan salam, ibu sudah mendahuluinya. Ah… apa yang terjadi pada ibu?
“Assalamu’alaikum…” sapa ibu dengan senyum ramah menghiasi bibirnya.
“Wa’alaikumsalam,” jawabku dan mbak Asih. Kami masih bingung dengan keadaan ibu. Tidak biasanya beliau seperti ini.
“Sudah shalat? Pasti belum. Sekarang cepat ambil wudhu, shalat, terus makan ya…”
“Ibu nggak sakit?”
“Enggak, ibu nggak kenapa-napa. Udah, ayo cepetan, nanti waktunya keburu habis lho.”
“Iya, Bu.”
Kamipun segera mengambil wudhu lalu shalat. Setelah selesai shalat, kami lalu keluar dari kamar. Di sebuah ruangan yang kami sebut ruang tamu, ruang makan, dan ruang keluarga, telah berkumpul dua pasang suami istri di keluarga kami. Siapa lagi kalau bukan bapak, ibu, dan kakek nenekku. Beberapa makanan yang bagi kami istimewa juga tersedia di sana.
“Ina, Asih, ayo duduk sini. Kita makan bersama” pinta kakekku.
Aku benar- benar masih belum mengerti. Ada apa ini? Biasanya jam segini hanya ibu dan nenek yang ada di rumah. Bapak belum pulang narik angkot dan kakek masih bekerja di toko Cik Iis sebagai kuli panggul. Baru setelah Ashar mereka pulang. Bahkan kadang bapk bekerj sampai malam. Tapi hari ini, kenapa baru jam satu siang mereka sudah berada di rumah?
“Ina, Asih, kalian seneng nggak kalau punya adik kecil?”
“Seneng Bu, Ina kn sudh lma pengen punya adik. Nanati mau Ina ajak main boneka-bonekaan.”jawabku.
“Jangan-jangan Ibu mau punya adik kecil ya? Ibu hamil?” mbak Asih coba menebak.
Senyum ibu langsung mengembang mendengar pertanyaan mbak Asih. Begitu juga dengan ayah, kakek dan nenek. Tidak ada jawaban terlontar dari mulut mereka. Tapi anggukan kepala dari ibu sudah cukup memberikan jawaban atas rasa penasaran kami. Ibu benar-benar hamil.
“Yes,yes,yes… bentar lagi Ina mau gendong adik. Nanti juga mau Ina pakaikan rok yang bagus biar kelihatan cantik.”
“Nggak bisa, adiknya tu bakalan cowok biar komplit. Ntar kan jadi rame kalau ada cewek ada cowok.” Timpal mbak Asih.
“Udah-udah, cewek cowok sama aja yang penting jadi anak yang sholih dan sholihah. Lagian kalian bukannya Alhamdulillah malah yes,yes,”kata ibu.
“Eh,iya,Alhamdulillah…”jawabku dan mbak Asih serentak.
Kamipun melanjutkan makan siang pada hari itu dengan penuh suka cita. Hari itu menjadi hari yang begitu indah. Kehamilan ibu benar-benarmenjadi kabar yang menggembirakan bagi keluarga kmi. Terutma aku karena aku memang sudah lama menginginkan seorang adik yang bisa ku gendong setiap hari. Dan sebentr lagi hal itu akan terwujud.
* * *
Selama masa kehamilan ibu, kami menjadi lebih perhatian padanya. Beliau tidak kami perkenankan untuk bekerja terlalu berat seperti biasanya. Sebelum hamil, ibu bisa mencuci pakaian tetangga sampai tiga keranjang pakaian penuh. Setiap keranjang sendiri berisi lima belas sampai duapuluh pasang pakaian. Memang begitulah pekerjaan sehari-harinya. Menjadi buruh cuci untuk para tetangga. Kadang, aku merasa kasihan saat melihat wajah ibu yang tampak kelelahan seusai mencuci. Aku ingin memintanya untuk berhenti dan mencari pekerjaan yang lain saja tapi tidak bisa karena hanya itulah keterampilan yang dimiliki seorang tamatan SD seperti ibuku. Seandainya saja, bapakku orang kaya, tentu saja ibu tidak perlu bekerja seberat ini. Dia cukup menjadi ibu rumah tangga yang baik dengan menerima jatah uang belanja dari bapak untuk belanja sehari-hari. Tidak seperti sekarang, ibu harus memeras keringat demi mendapatkan uang agar kami sekeluarga bisa makan. Itupun kadang masih sering berhutang di warung Bu Titik. Ah, sudahlah, tak perlu menyesali keadaan. Yang jelas sekarang iu hanya boleh mencuci maksimal satu keranjang. Itu sudah menjadi keputusan kami sekeluarga.
Usia kehamilan ibu sudah menginjak bulan ke sembilan, itu artinya sebentar lagi ibu akan melahirkan. Kami sekeluarga memberhentikan ibu dari pekerjaannya secara total. Kami tidak tau pasti kapn kelahiran itu akan datang. Sebagai keluarga miskin, kami tidak mampu melakukan apa yang bisa dilakukan oleh orang-orang kaya untuk memperkirakan kapn bayi mereka lahir. Kami tak perlu tes USG, tidak perlu perkiraan dokter untuk menyambut kelahiran adikku. Cukup berdasarkan kebiasan bahwa memasuki usia sembilan buln berarti tidak lama lagi kelahiran akan datang dan sudah sewajarnya melakukan persiapan untuk hari itu. Sejauh ini kami sudah membersihkan hamper semua ruangan yang ada dan membenahi almari pakaian untuk mengeluarkan bekas pakaian bati yang dulu dipakai olehku dan mbak Asih. Ibu memang sengaja menyimpannya agar saat melahirkan bayi tidak terlalu banyak niaya yang dikeluarkn untuk membeli baju.
Pagi itu seperti biasa, bapak berpamitn untuk berangkat narik angkot. Tidak lupa juga beliau mencium perut ibu sebelum melangkah meninggalkan rumah. Ibu yang mengantar sampai depan pintu, melepaskn kepergian ayah dengan tatapan penuh cinta dan senyum mesra.
Aku dan mbak Asih pun menyusul untuk berpamitan berangkat sekolah.
“Bu,Ina sayang banget sama adik yang ada di perut ibu. Jaga baik-baik ya,Bu”kataku sembari mencium tangan ibu.
“Iya,sayang. Ibu psti jaga adik kecil ini baik-baik. Apapun yang terjadi, udah sana berangkat sekolah.”
“Iya,Bu.”jawabku dan mbak Asih.
“Yang rajin ya, biar pinter.”
“Iya, Assalamu’alikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
* * *
Bel pulang sekolah berbunyi. Mbak Asih sudah menungguku di depan pintu. Kamipun segera pulang ke rumah. Di jalan kami berbincang kesana kemari, tertwa, berlari, sambil menikmati indahnya panorama alam di sekeliling kami. Gunung yang berderet dari utara hingga selatan, hijaunya hamparan padi yang baru ditanam, kicau burung-burung yang saling berkejaran. Ah, indahnya saat itu, sampai di halaman rumah, kami melihat banyak orang. Ada juga mbah Jasri, dukun bayi di desaku terlihat di depan pintu. Aha, ibu sudah melahirkan. Aku dan mbak Asih segera berlari menuju ke dalam. Memasuki ruang tamu, aku melihat nenek duduk bersimpuh sambil menggendong seorang bayi yang tertidur lelap. Itu adikku!
Aku segera mendekatinya, sepertinya bayi laki-laki. Tampan sekali. Tapi kenapa nenek menangis? Ibu, mana ibu? Kenapa bukan ibu yang menggendong adik kecil? Oh ibu masih tidur di depan neenk. Mungkin ia kecapekan setelah melahirkan. Tapi kenapa wajahnya ditutup kain?
“Nek, ibu kenapa? Kok nggak bangun-bangun? Ibu nggak pengen gendong adik?
Nenek tak menjawab sepatah katapun. Ia hanya membeli kepalaku sementara air matanya semakin deras. Tiba-tiba dari arah pintu bapak dating dengan terburu-buru.
“Surti…!!! Bangun… jangan tinggalkan aku sendirian!”bapakku memeluk sambil mengoncang-goncangkan tubuh ibu yang masih terlelap. Tapi kenpa harus menangis? Para tetangga yang ada di dalam pun mencoba menenangkan bapak.
“Aku menyesal tak bisa menemani saat-saat terakhirmu!” bapak masih saja menangis sambil berteriak keras-keras. Saat-saat terakhir. Aku sering mendengar kata-kata itu di TV tetangga. Biasanya kalimat itu terucap saat menghadapi oaring yang meninggal, mungkinkah ibu? tidak, aku tidak percaya.
Kutatap wajah demi wajah orang-orang yang ada di sekelilingku.tak ad yng menampakkan aura bahagia atas lahirnya adik kecil. Tanpa kusadari ternyata sejak tadi mbak Asih menangis di samping kiri nenek. Ah, ibu…ternyata kau benar-benar meninggalkan kami! Aku ingin berlari menggapai tubuh ibu.tapi nenek menceghku. Ia menarik tanganku lalu merangkulku, membelai dan mencium kepalaku. Air mataku benar-benar tak terbendung lagi. Ibu meninggalkanku. Tak ada lagi yang akan menceritakan perjalanan Rasul menjelang tidurku. Tak ada lagi yang akan mengepangkn rambutku, menyiapkanku jadwal pelajaran, mengambilkan makan, dan pada siapa aku harus mengadu saat aku menangis?
Lima hari sudah ibu meninggal. Para tetangga juga sudah tidak banyak lagi yng datang ke rumh. Hari ini juga adikku puputan. Kami harus memberinya nama. Sudah menjadi kebiasaan di desaku mengadakan syukuran saat memberi nama pada bayi. Biasanya dengan mengundang para tetangga untuk datang ke rumah. Kami pun begitu. Bedny, jumlah orang yang kami undang sekarang tidak sebanyak yang biasanya orang-orang lakukan. Kami hanya mengundang beberap orang yang rumahnya dekat-dekat saja.
Begitu acara selesai dan dibacakan do’a oleh Pak Haji Romi, tibalah saatnya untuk makan bubur merah putih.
“Jadi, bayinya dikasih nama siapa pak?” Tanya Ibu Ardi yang kebetulan datang bersama suaminya.
“Ulul Albab,Bu, itu saya minta dari Kyai Husni”jawab bapak.
“Pak, boleh saya bicara sebentar? Disini saja.”Tanya Pak Ardi pada bapak.
“Silakan pak, boleh- boleh saja.”
“begini Pak, kami sekeluarga turut prihatin dengan musibah yang dialami keluarga bapak. Kami juga sangat kasihan dengan anak-anak terutama si kecil Ulul Albab. Dia tidak bisa merasakan kasih sayang dari ibu kandungnya, sejak ia dilahirkan. Maka dari itu, jika diperkenankan kami bermasud untuk mengangkat Ulul Albab menjadi anak kami. Bukannya bermaksud apa-apa, kami hanya berniat membantu. Kebetulan kami memang belum dikaruniani anak.”
“Benar pak, saya tidak tega mendengar tangisan si kecil setip hari sementara bagi nenek mungkin sudah agak kewalahan menangani seorang bayi. Kami benar-benar hanya ingin membantu. Itupun kalau Pak Sukir dan keluarga berkenan.”tambah Bu Ardi.
“Iya, Bu,Pak. Say sendiri juga masih bingung dengn keadaan anak-anak yang tidak lagi didampingi ibunya. Saya sendiri tidak maslah, asalkan kami msih bisa bertemu dengan Ulul dan Ibu Bapak bersedia menjelaskan yang sebenarnya saat dia sudah besar nanti. Bagaimanapun juga saya khawatir dengan masa depannya jika hidup dalam keluarga seperti ini. Tapi saya juga perlumembicarkanny dengan kedu anak saya dan kakek neneknya.”
“kalau kami, jika memeang itu yang terbaik bagi anak-anak, kami setuju saja.”jawb kake singkat. Disusul dengn nenek yang menganggukkan kepala.
“Bagaimana dengan Ina dan Asih?” Tanya Bu Ardi.
Aku dan mbak Asih hanya menatap lalu menganggukkan kepala tanda sepakat.
Akhirnya, mulai saat itu Bapak dan Ibu Ardi mengangkat adikku menjadi anak mereka. Muli hari itu jua, Ulul tinggal bersama mereka. Sebenarnya hatiku berat berpisah dengan adik yang sudah lama kuharapkan. Meskipun setip hari aku tetp bisa menemuinya. Jarak rumahku dengan Pak Ardi memang hanya beberp meter saja. Sudahlah, tak maslah. Itu demi masa depan adikku.
***
Dua bulan sepeninggal ibuku, keluarga kami masih dirundung duka, terutama bapak. Dia seperti kehilangan gairah hidup. Bapak jadi sering tidak berangkat kerja dan itulah yang menyebabkan ekonomi kami semakin terpuruk. Biaya sekolahku pun sudah banyak yang nuggak. Akhirnya dari pihak sekolah memberi tawaran agar salah satu diantara aku dan mbak Asih dimasukkan ke panti asuhan saja. Di sana sudah bebas biaya hidup dan biasanya pihak panti mempunyai chanel dengan sekolah tertentu gar anak panti asuhan yang bersekolah disana bisa diringankan bebannya bahkan dibebaskan dari biaya.Tapi itu artinya, salah satu dari kami harus pindah sekolah lain. Demi mengurangi beban hidup, akhirnya kelurgaku menyetujui mbak Asih-lah yang selanjutnya akan pergi meninggalkan kami. Ia akan dibawa ke panti asuhan oleh wali kelasnya, Bu Widi. Kami tidak bisa ikut mengantarnya. Ya, lagi-lagi karena biaya. Tapi kami percaya pada Bu Widi. Ia tidak akan menyalahgunakan kepercayaan dari keluarga kami. Bu Widi juga bilang, jika sewaktu kami ingin menemui mbak Asih, ia siap mengantar. Minggu sore mbak Asih berangkat.
Seminggu kemudian, tiba-tiba bapak berpamitan untuk pergi ke kota. Ia bermaksud untuk mencari pekerjaan di sana. Aku tau, sebenarnya bapak juga ingin mencari kedamaian di luar sana. Kedamaian seperti dulu, yang sekarang tidak bisa lagi ia dapatkan di rumah ini. Apa boleh buat? Kami tidak bisa mencegahnya. Akhirnya bapakpun pergi. Sekarang tinggal aku besrta kake dan nenek yang menempati rumah ini, sepi.
***
Minggu pagi, aku berniat menemui adikku, Ulul. Sudah kubuatkan boneka kecil yang kujahit sendiri dengan tngan, khusus untuk adikku tersayang. Kurang cocok memng, bayi usia dua bulan kuberi boneka. Tapi memang itulah yang aku bisa berikan.
Sesampinya di depan pintu gerbang rumah Pak Ardi, aku mencoba masuk. Ternyata dikunci. Tidak biasanya. Apa mungkin sedang bepergian?
Aku terus berteriak permisi tapi tetap tak ada jawaban. Sampai akhirnya, ada seorang lewat dan bertanya,
“Ina ya?”
“iya”
“Ibu dan Pak Ardi tadi pagi pergi terburu-buru, terus nitip surat ini, katanya untuk keluargamu.”
“Oh begitu, terima kasih.”
“Ya,sama-sama.”
Aku segera pulang dan membaca surat itu bersama kakek dan nenek. Betapa terkejutnya kami mengetahui isi surat itu. Keluarga Pak Ardi harus pindah ke Kalimantan karena tugas yang harus ia lakukan sehubungan dengan pekerjaannya sebagai pegawai Pemerintah Daerah. Mereka tidak sempat berpamitan karena sudah dijemput oleh atasan Pak Ardi. Kalimantan. Jauh sekali. Di Jawa ini saja belum pernah ku injakkan kakiku di kecamatan tetangga. Sebenarnya, bukan urusanku sejauh apa Kalimantan itu. Tapi masalahnya, mereka membawa Ulul, adikku.
Belum selesai kami meratapi kesedihan, tiba- tiba Bu Widi dating. Dia terlihat kelelahan sehabis berlari. Keringatnya masih mengalir. Nenek menyuruhku untuk mengambil air putih. Setelah agak tenang, nenekpun bertanya,
Ada apa Bu Widi?”
“Tadi saya berniat menjenguk Asih di panti, setelah sampai disana saya kaget melihat tulisan yang ada di pintu gerbang. Ternyata bangunan panti disegel. Saya berusaha bertanya pada tetangga sekitar mengenai penghuni panti. Mereka tak ada yang tau.”
Apa lagi ini? Ya Allah… aku benar-benar ingin marah. Tapi pada siapa harus kuluapkan kemarahanku? Aku terpisah dari orang-orang yang aku sayangi.
Rumah yang dulu hangat dengan kasih saying penghuninya, kini sepi, hampa. Akankah aku kembali berjumpa dengn mereka? Kemana kakakku pergi? Kasihan sekali nasibnya. Kemana adikku? Kemana ayahku?
***
Allah memang tak selalu memberikan apa yang kita inginkan. Tapi ia memberikan apa yang kita butuhkan. Selalu ada rencana yang telah ia persiapkan di balik semua hal yang terjadi.
Sekarang, inilah aku dr.Ina Rahmawati. Dokter spesialis kandungan. Aku berhasil menellesaikan kuliahku berkat beasiswa dan berkat doa orang-orang di dekatku. Terutama ibuku, saat ia masih menjadi sandaranku dulu. Siapa yang menyangka, aku tumbuh dalam keadaan yang begitu tragis. Sekrang ini hanya satu keinginanku. Bertemu dengan bapak, Ulul, dan mbak Asih. Masih hidupkah mereka?
Hidupku memang begitu akrab dengan yang namanya “kesepian”. Begitupun sekarang. Tinggal di rumah sendirian tnpa siapapun. Kakek sudah meninggalkan aku dan nenek sejak aku kelas dua SMP. Dan nenek baru empat tahun kemudian menyusulnya. Tepatnya satu minggu setelkh aku wisuda SMA.
Sepi. Bagiku tk masalah. Buktinya dalam kesepian itu aku bisa berkarya dan berprestsi. Aku tak perlu takut menatap masa depan dengan kesendirianku. Hhh… jika teringat masa laluku, entah ungkapan apa yang cocok dipakai untuk menggambarkannya. Sudah jatuh, tertimpa tangga, mengimjk paku, tercabik pisau, terbentur batu pula. Mungkin demikian, tapi sudahlah, lupakan. Yang jelas hanya satu yang akan ku ingat dari masa laluku yaitu pesan ibuku,
“Saat kau sudah jadi orang yang berhasil nanti, hiasilah hidupmu dengan ketawadhuan ya…”
27 Mei 2009. 02.00

0 komentar: