This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Translate

Selasa, 07 Mei 2013

UNTUK ANDA



Penuh saya sadari,
Terlalu lama kita bermain di genangan ini
Sesekali ada juga ombak kecil, sedang, bahkan besar,
Yang serta mendampingi
Mungkin memang salah saya
Tak segera beranjak dan mengingatkan anda
Kembali ke titian
Tak boleh saya biarkan anda begitu
Perjalanan anda masih panjang
Terlalu remeh jika harus anda gadaikan dengan bermain di genangan
Mimpi anda di seberang sana,
Masih tetap menanti 
Untuk anda bawa ke alam nyata
Harap saya, 
Tak akan kita dapati jurang setelah ini
Tapi entahlah,
Jika memang itu satu-satunya yang pantas kita dapati
Meski dengan berat hati
Haruslah saya sanggupi
Selamat jalan tuan
Mentari di seberang sana telah menanti
Semoga berjaya
Doa saya selalu bersama anda


semarang, 9 November 2011
00 : 52

Kita



laboratorium kehidupan kembali menuangkan kisahnya
kisah tentang kau dan aku yang harus bersenyawa menjadi kita
kita tampak berjalan begitu cepat
agaknya katalisator cinta sukses berperan mereaksikan kita

entah... atas mau siapa ini semua
semua kau bilang karena takdir...
Sang kaki tangan Tuhan penyeret derap langkah yang dicipta

apapun itu,
yang kutahu, aku hanya ingin memohon
pada Tuhan, kuingin meminta
agar jangan biarkan kita kembali terurai menjadi kau dan aku

meski waktu mengikis usia,
biarkan kita tetap menjadi kita
sampai kelak, dalam dimensi yang tak lagi fana


semarang, 25 Maret 2013  12:59 WIB

Senin, 06 Mei 2013

AKU, NAMLATU SAGHIRAH



Teman, coba lihat di sana, seekor semut kecil tengah duduk di tepian sungai. Hm... aku jadi penasaran,apa yg sedang ia lakukan?
Aku : "Hai semut, aku tw siapa drimu, Namlathu Saghira bukan???? Sedang apa kau di sini?"
Naml : (Hanya menoleh dan kembali asyik dg lamunanya)
Ukh.......
Dia tak mempedulikanku. rupanya dia blm tw siapa aku ini. Aha, aku lempari saja ia dengan buah kenari.
Aku : "pluk......" (melempar buah kenari)
Naml : "Hey, apa yang kau lakukan? mengganggu saja. Tidakkah kau tahu , kehadiranmu terutama lemparanmu itu mengganggu kenyamananku."
Aku : "hahaha..... ternyata bisa juga kau bicara. kupikir kau ini mayat hidup. dari tadi aku bertanya padamu, apa yang kau lakukan di sini, tapi tak sepatah katapun terbalas darimu. skrg kuulangi. sedang apa kau di sini?"
Naml : "menenangkan hati"
Aku : "Hohoho...... ternyata itu yang mbwtmu lantas datang kemari, duduk di bawah pohon kenari, sembari menghadap sungai dg tatapan tak berarti, bgitu?
Naml : "Iya, memang kenapa??"
Aku : "Sungguh kasihan, memangnya kmn tmn2mu ? Apa mereka tk mau kau ajak berbagi ttg keadaanmu saat ini?
Naml : "Siapa bilang? mreka sgt baik padaku tk mgkn mrk spt itu."
Aku : "Lantas, mengapa kau sendiri?"
Naml : "memangnya salah klau aku mrasa nyaman dg sperti ini?"
Aku : "Uhm.......aku tw benar apa yg sdg kau alami."
Naml : (tertawa sinis) BAguslah, tp diammu akan lebih baik. Tak usah kau singgung lgi ttg itu.
Aku : "tidakkah kau ingin bercerita padaku?"
Naml : "Kau bilang kau tahu benar dg apa yang kualami, knp q hrs bercerita lg? buang2 wkt."
Aku : "Yah, aku tau, banyak hal yang ingin kau utarakan, jadi, stidaknya bs sdikit mengurangi bebenmu mungkin?"
Naml : "Tak perlu, itu tak mendatangkan penyelesaian. Masalahku akan tetap spt ini."
Aku : "Diam, diam, diam. Sampai kapan kau akan diam? bagus klau diammu menyelesaikan mslh, tpi nyatanya, itu justru menimbulkan salah persepsi!!!!"
Naml : "Tapi aku bicarapun, tak akan lebih baik. Mereka tetap tak paham dg perasaanku. bukankah itu hanya buang2 tenaga? buang2 wktu?"
Aku : "Tapi stidaknya mreka tau apa yang kau inginkan, apa yg kau rasakan."
Naml : "Aku tak pandai mengolah kata. Aku takut karena kbodohanku itu justru akan memperpanjang masalah."
Aku : "Bodoh !!! Kenapa takut bayangan? Kau blm mencobanya !!!"
Naml : "Aku sdh mencoba, tp memeng tdk bisa. Semua kta seakan terhenti di tenggorokanku. Aku tk mampu utk mngluarkanya."
Aku : "Gila !!! hal semudah itu kau tak bisa?"
Naml : "Kalau aku memang tdk bisa, kau mau apa? siapa sbenarnya kau ini? Ikut campur urusan orang lain. Kau urus sja drimu yg tak karuan itu. Penampilanmu mmbwtku , orang yg baru sejenak bersamamu , merasa jengah. Dasar membosankan."
Aku : "Persetan dg penampilanku. Aku tak peduli. yg kumau skrg, apa yg kau ininkan itu tak lagi kau cari, tapi telah kau dapati."
Naml : "memangnya apa yg kucari?"
Aku : " Ketenagan hati, bukan?"
Naml : "Ah, peduli apa kau ini. Sudahlah, Aku sdh ckup spt ini. Mereka tak tau apa yg ku inginkanpun, bkn hal yang berarti. Kalau kau memang benar2 tau, mka ckup aku, kau, dan Dia Yang Maha Tau yg mengerti keinginanku. Tujuan hidupkun cuma satu, MENGGAPAI CINTA-NYA. Tak mau aku larut dlm mslh spt ini. "kafa billahi ma'ani". cukuplah, bila Ia masih bersamaku, maka semua akan mudah."
Aku : "Semudah itu kau menyerah? dasar lemah !!!!"
Naml : "Ya, aku memang lemah, PUAS...??? "Aku sdh jatuh dan skrg ingin bangkit utk memenuhi tujuan hidupku. Ibarat musafir, hidupku adalah gurun pasir, gersang, sehingga mbwtku kehausan. Saat kumelihat oase, mk aku akan sgera berlari utk mendapatinya.Itulah tujuan hidupku saat ini, dan sekarang, di tengah perjalanan kakiku menginjak duri kecil shg menghalau perjalananku. Ini akan terasa sangat sakit bila tetap dipaksakan utk berjalan, apalagi berlari. Tapi aku tak mampu mencabutnya dari kakiku, terlalu kecil. Tapi akupun tak mau terpaku, menghabiskan waktuku untuk duri ini. oase itu, aku khawatir ia akan segera mengering, dan meninggalknku dlm kehausan yang teramat sangat, dan akhirnya aku mati di gurun ini. Aku tak ingin hal itu. Maka, aku akan tetap berlari, menahan sakit, meski langkahkupun tertatih. Biarlah sakit itu menemaniku meraih apa yang kuinginkan."
Aku : "Hah...... Pecundang!!!! Bilang saja kalau kau ingin lari dari masalah."
Naml : "Terserah apa katamu. Aku tak peduli."
Aku : "Lalu, apa kau tak ingin masalahmu selesai, wahai bodoh????"
Naml : "Hey, kasar sekali bicaramu. Ummpatan apa lagi yang mau kau lontarkan? Tidak bisakah mulutmu berkata lebih halus selain kata "Bodoh" ? "
Aku : "Hahaha...... kata yang lbih halus? Maaf saja, sekarang ini hanya satu kata yg pantas untukmu. B-O-D-O-H..........!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

Minggu, 05 Mei 2013

Anakku



“Naili, bangunkan adikmu. Sudah siang ini, Bapak mau berangkat.”

“ya, pak.”

Naili berlari masuk ke rumah untuk membangunkan adiknya. Sementara aku kembali menyiapkan gerobak yang akan kubawa memulung. Tumben sekali nisa bangun sampai siang begini. Biasanya dia sudah bangun sejak subuh tadi dan ikut sholat berjamaah di Mushola bersama aku dan Naili. Setelah itu mereka mengaji bersama Ustadz Rohim di Mushola sampai pukul 06.00, sedangkan aku langsung pulang ke rumah untuk menyiapkan sarapan. Usai mengaji, biasanya mereka berdua bermain di samping mushola dan baru pulang saat aku memanggil mereka untuk sarapan.

“Nisa tidak mau bangun pak,” Naili berdiri di tengah pintu dengan agak menggerutu.

Aku semakin bertanya-tanya, ada apa dengan nisa? Aku pun segera masuk ke rumah untuk melihat keadaannya. Naili pun mengikutiku di belakang. Aku lihat Nisa masih terbaring dengan berselimut. Aku dekati dan kupegang tubuhnya. Panas sekali.

“kamu sakit nak? Makan dulu ya, bapak tadi masak kangkung, kesukaanmu.”

Nisa masih saja diam dan hanya menggelengkan kepala.

“Nisa pusing pak,” jawabnya.

“sebentar ya nak, bapak ambilkan kompres dulu.”

Aku bergegas menuju dapur untuk mencari air dan kain untuk mengompres. Rumah kami yang kecil ini berukuran 3x4 meter. Hanya ada dua ruang di dalamnya, satu kamar tidur yang sekaligus merangkap sebagai ruang tamu dan ruang keluarga, dan satunya lagi dapur. Sedangkan kamar mandi kami berada di belakang rumah. Belum layak disebut kamar mandi sebenarnya, karena hanya sebidang tanah yang aku skat dengan triplek. Di dalamnya pun hanya ada sebuah bak mandi plastik sebagai tempat air. Itupun kalau ada airnya, karena kami hanya mengandalkan aliran air dari seorang tetangga yang waktu itu berkenan membagi airnya dengan kami. Kamar mandi itu lebih kami fungsikan untuk mencuci piring dan pakaian saja. sedang untuk kepentingan mandi, berwudhu dan buang hajat, kami lebih sering menggunakan kamar mandi mushola. Untungnya warga sini bisa menerima. Aku kembali ke kamar dengan panci beisikan air dingin dan sepiring nasi untuk Nisa.

“Nisa, makan dulu ya nak, setelah itu minum obat. Kak Naili tolong bapak belikan parasetamol untuk adikmu, di warung pak Slamet.”

“ya pak, uangnya di mana?”

“di sebelah rak piring, di atas kardus, ada uang lima ribu”

“ya pak, nanti kembalianya buatku ya,”

“boleh”

Sementara Naili membeli obat, aku menyuapi Nisa. Ia makan dengan tahu saja. Ya, pengahasilanku sebagai pemulung kardus dan botol plastik, hanya cukup untuk membeli sayur dan lauk tahu atau tempe. Dengan uang sepuluh ribu per hari aku bagi penghasilanku itu untuk keperluan makan maksimal lima ribu, dan sisanya untuk uang jajan anak-anak serta keperluan lainnya.

“ini minum dulu Nis, sambil menunggu kak Naili datang, setelah itu minum obat.”

“Assalamualaikum....”

“Waalaikumsalam, nah ini kak Naili sudah sampai.”

“bapak, obatnya tinggal satu-satunya ini.”

“oh, ya sudah tidak apa-apa. Nisa, minum obatnya dulu ya nak, setelah itu kamu tidur.”

Setelah minum obat, nisa kembali tidur.

“Naili, kamu di rumah saja ya, temani nisa. Bapak berangkat kerja dulu. Jangan lupa dikompres, biar panasnya cepat turun.”

Aku berangkat bekerja dengan perasaan yang tidak enak. Meninggalkan kedua anakku sendiri di rumah, dengan si bungsu sakit. Biasanya mereka berdua ikut membantuku memulung dari Manggarai sampai ke salemba, dan baru tengah hari kami kembali  ke rumah. Setelah itu kami mulai memulung lagi hingga sore. Ada sesak di dada saat mengingat usia kedua anakku yang sebenarnya sudah harus mengenyam pendidikan. Naili, usianya sekarang enam tahun, dia seharusnya sudah duduk di kelas 1. Sedangkan Nisa sekarang berusia empat tahun, usia yang layak untuk anak TK. Tapi yang mereka dapatkan justru harus menemaniku, berada di tengah tumpukan sampah, di bawah teriknya matahari. Tapi tak pernah sekalipun aku dapati raut penyesalan dari wajah mereka.  Mereka selalu menjalani hari-hari dengan keceriaan. Hanya saja suatu kali pernah Nisa bertanya padaku.

“Bapak, Sita kemarin diantar sekolah sama ibunya. Aku mau diajak, tapi aku nggak mau. Aku pengen diantar sama bapak aja, kalau aku sekolah nanti.”

Perkataan Naili seakan menampar naluriku sebagai seorang ayah. Aku merasa barsalah belum bisa menyekolahkan kedua anakku pada waktu yang semestinya.

“Tahun depan ya nak, bapak janji akan menyekolahkan kamu dan Nisa. Sekarang kalian bantu bapak cari uang dulu biar tahun depan kalian bisa sekolah.”

“iya pak, Nalili sama Nisa mau bantu bapak cari uang dulu, buat ongkos kami sekolah.”

Aku hanya tersenyum lega, mendengar jawaban Naili. Entah apa yang membuat kedua anakku begitu menerima soal keterlambatan sekolah mereka. Mungkin mereka memahami betul betapa susahnya aku mengumpulkan rupiah untuk sekedar menyambung hidup. Jadi mereka tidak terlalu banyak menuntut dariku. Merekalah salah satu keadilan Tuhan yang Ia tunjukkan padaku. Di tengah himpitan ekonomi yang benar-benar mencekik urat nadi, Ia kirimkan dua malaikat kecil yang menjadi penyejuk dan pelita bagiku. Merekalah alasanku tersenyum dan  tetap bertahan di tengah kerasnya kehidupan. Aku telah berjanji akan menyekolahkan mereka tahun depan. Ya, bapak berjanji anak-anakku. Apapun yang terjadi, tahun depan kalian harus bersekolah. Menimba ilmu untuk menggapai mimpi-mimpi yang kalian gantungkan.

***

Sudah tiga hari, tapi Nisa belum juga membaik. Sekarang justru sering muntah-muntah dan buang air besar yang bekali-kali. Apa mungkin ini gejala muntaber? Sebaiknya nisa kubawa ke puskesmas saja. tapi uang yang kupunya tinggal lima ribu. Kemarin seharian aku tidak bekerja karena harus menemani dan menggendong nisa bolak-balik ke kamar mandi. Di sisi lain, aku takut keadaan Nisa semakin memburuk jika dibiarkan begini saja. Baiklah, Nisa tetap harus ke puskesmas hari ini. Berapapun biayanya, itu urusan nanti. Toh, kalau memang uangku tidak cukup, aku masih bisa berhutang.

Bersama Naili, aku membawa Nisa ke puskesmas. Karena kondisinya masih lemah, Nisa harus aku gendong sampai sana. Jarak rumah kami dengan ke puskesmas cukup dekat, hanya 15 menit. Sehingga kami menempuhnya dengan berjalan kaki.

Sesampainya di puskesmas, aku langsung menuju ke loket pendaftaran dan mengambil nomor antrean. Kebetulan hari ini tidak terlalu banyak pasien, jadi kami tidak terlalu lama menunggunya. Sambil menuggu, aku dan kedua anakku duduk di bangku antrean paling belakang. Kami sengaja memilihnya karena bangku itu yang paling dekat dengan kipas angin.  Ternyata kami kelelahan setelah berjalan kaki di bawah matahari yang terik. Nisa masih lemah, ia terbaring di pangkuanku. Sedangkan Naili duduk di sampingku sambil terus mengipas wajahnya dengan brosur yang ia ambil dari loket tadi. Aku usap kening Nisa, pikiranku melayang membayangkan kemungkinan yang sedari tadi menggelayut di kepalaku. Semoga biaya pengobatannya tidak lebih dari lima ribu.

“Khaerunnisa...”

Suara perawat mengagetkan lamunanku. Ternyata sudah tiba giliran Nisa. Aku membangunkan Nisa dan menggendongnya masuk ke ruang pemeriksaan. Naili tidak ikut masuk, ia memilih tetap tinggal di luar.

Memasuki ruang pemeriksaan, kami disambut senyum ramah dari seorang perempuan yang duduk di belakang meja. Wajahnya masih tampak segar, aku menduga ia seorang ibu muda yang baru mempunyai anak satu. Usianya mungkin sekitar 28 atau 29 tahun.

“silahkan duduk pak.”

“terimakasih dok,”

“bagaimana pak, ada keluhan apa?”

“ini dok, anak saya, sudah tiga hari sakit. Awalnya cuma demam biasa tapi kok hari berikutnya sering muntah dan buang air besar. Apa itu gejala muntaber dok?”

“ oh, ini yang sakit adik kecil ya? Siapa namanya?”

“Nisa, dok.”

“ok. Nisa, coba sekarang naik ke tempat tidur, biar dokter periksa.”

Aku membantu membaringkan Nisa di atas tempat tidur. Dokter mulai memeriksanya. Setelah selesai ia kembali duduk di belakang meja. Sementara Nisa masih berbaring di tempat tidur.

“bagaimana, dok?”

“Begini pak, nisa memang sudah positif terkena muntaber. Kondisinya sudah sangat lemah. Ia kehilangan banyak cairan. Saya sarankan Nisa diopname untuk mendapatkan penanganan medis secara lebih intensif.”

“apa tidak bisa rawat jalan saja dok?”

“kondisi Nisa benar-benar menghawatirkan pak, saya takut terjadi sesuatu kalau nisa tidak mendapat penanganan secara intensif.”

“maaf dok, saya tidak punya uang untuk membayar biaya pengobatan. Saya juga tidak bisa meninggalkan pekerjaan saya dengan menunggui Nisa di sini.”

Dokter itu menghela napas. Ia tampak sedikit kecewa dan tak punya alasan lagi untuk tetap memaksaku mengizinkan Nisa diopname.

“baiklah pak, kalau begitu saya buatkan resep. Obat ini bisa ditebus di apotek sebelah loket pendaftaran. Tidak perlu bayar ya pak. Kalau boleh tau, dengan bapak siapa?”

“sukirno dok.”

“saya Yunita, silahkan pak, ini resepnya. Tolong diminumkan dengan teratur, makanan Nisa juga harus diperhatikan. Tidak boleh makan yang asam-asam, dan idak boleh terlambat.”

“iya dok,akan saya perhatikan makanannya.”

“kalau ada apa-apa silahkan konsultasi saja.”

“baik dok, saya pamit dulu. Terimakasih, selamat siang.”

“sama-sama pak, selamat siang.”

Dokter yunita membantuku menggendong Nisa. Kami keluar meninggalkan ruang periksa. Aku menuju apotek untuk menebus obat setelah itu memanggil Naili yang tengah asik bermain di samping kolam ikan. Kamipun pulang ke rumah.

***

Aku menatap wajah kedua anakku yang sedang tertidur pulas. Mereka tampak polos tanpa terbebani oleh pahitnya hidup. Kadang, aku merasa bersalah tidak bisa memberi kehidupan yang layak untuk mereka. Atau mungkin Tuhan yang salah mengirimkan dua malaikat kecil ini pada kubangan hidupku. Seringkali aku menangis jika mengingat semua yang menimpaku. Sekarang tak sepeserpun aku menyimpan uang. Terakhir yang kupunya adalah satu lembar uang lima ribu yang sudah kugunakan untuk berobat Nisa tadi sore. Besok, aku tak tau harus memberi makan apa pada mereka berdua. Sedangkan Nisa, tidak boleh terlambat makan. Seharian ini aku tidak bekeja karena harus menunggui Nisa.

Ah, andai saja Ratmi masih di sini. Mungkin keadaannya akan berbeda. Aku bisa tetap bekerja untuk menyambung hidup, dan urusan anak-anak bisa ditangani Ratmi, apalagi saat mereka sakit seperti ini. Namun kenyataan berkata lain. Ratmi tak tahan hidup dalam kemiskinan bersamaku. Dia pergi meninggalkan kami saat Nisa baru berusia satu tahun. Tidak ada kata perpisahan, yang ada hanyalah secarik kertas yang kutemukan dia atas bantal sebagai tanda bahwa ia telah pergi.

Pagi itu, saat bangun tidur aku seakan kembali masuk ke dalam mimpi. Mimpi yang begitu menyeramkan, yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Ditinggal sorang istri di saat aku dan anak-anakku membutuhkannya. Ratmi mengatakan dalam surat bahwa dia sudah cukup bersabar hidup bersamaku selama ini. Dia berharap semuanya akan berubah seiring dengan berjalannya waktu. Namun ternyata keadaan tak juga membaik. Kami masih tetap hidup dalam kemiskinan. Dia pun tak tahan dan tak lagi percaya padaku. Dia pergi entah kemana dan sampai sekarang kami tak tahu di mana keberadaannya.

Sudahlah, tak perlu lagi mengingat masa lalu. Yang terpenting sekarang adalah merawat Nisa agar lekas sembuh dan mengembalikan senyumnya. Untuk urusan rizki, aku percayakan padaMu saja Tuhan. Aku tak pernah ragu akan kekuasaanMu. Tugasku hanyalah berusaha semaksimal mungkin, sedangkan untuk hasilnya, semua mutlak menjadi urusanMu.

***

“Bapak, Nisa nanti ikut bapak saja. Nisa bosan di rumah sendirian.”

“tapi kamu masih sakit, nak.”

“Nisa bisa tidur di gerobak bapak. Di rumah sepi.”

Selama tiga hari kemarin Nisa memang sendirian di rumah. Naili ikut denganku memulung karena ada permintaan dari juragan untuk mengumpulkan kardus dan botol plastik lebih banyak. Lumayan, bisa menambah pemasukan, untuk berobat Nisa.

Hari ini Nisa tidak mau ditinggal sendiri. Dia ingin ikut, sementara keadaannya masih sakit. Ia masih sering muntah-muntah walaupun buang air besarnya sudah berkurang. Tapi kondisinya masih benar-benar lemah. Setelah aku pikir, mungkin ada baiknya juga aku mengajak serta Nisa. Dia bisa merasakan udara bebas dan bertemu teman-temannya. Mudah-mudahan dengan seperti itu bisa memacu keinginannya untuk lekas sembuh.

Tepat pukul 08.00 pagi. Gerobak telah kupersiapkan. Nisa kubaringkan dalam gerobakku itu. Kami pun berangkat. Melangkahkan kaki, menyusuri setiap ruas jalan di bawah hangatnya sinaran mentari pagi ini. Semburat senyum terpancar dari wajah Nisa. Dia tampak bahagia bisa merasakan kembali udara luar setelah beberapa hari terperangkap dalam kamarnya yang pengap. Begitu pula dengan Naili. Yang kulihat, dia tampak bahagia bisa berbagi keceriaan lagi bersama Nisa. Bagi kami, saat-saat memulung adalah saat yang paling indah. Kami bisa bercanda, berbagi cerita Dan tertawa bersama. Melupakan kepahitan hidup dan segala kepenatannya. Indah. Indah sekali. Terimakasih anak-anakku, kalianlah harta terindah yang pernah kumiliki.

Kami sampai di tempat pembuangan sampah Manggarai. Aku meletakkan gerobakku di samping tembok pembatas yang agak teduh, agar Nisa tidak kepanasan. Sementara aku dan Naili mulai beraksi mencari kardus dan botol-botol plastik yang ada.

“kamu tunggu di sini saja ya nak, bapak sama kak Naili ke sana dulu.”

“iya, bapak.”

Perlahan aku dan Naili mulai menjauh dari gerobak. Berjalan di antara tumpukan sampah, memilih dan memilah botol-botol plastik dan kardus yang ada di sana. Tidak terlalu banyak hasil yang kami dapat hari ini. Mungkin tadi telah ada pemulung lain yang datang lebih awal sebelum kami. Aku merasakan terik matahari tidak lagi bersahabat. Panasnya mulai terasa menyengat di kulit. Mungkin ini sudah pukul 10.00 lebih. Aku panggil Naili untuk segera beristirahat.

Kami berdua kemudian menuju gerobak untuk mengambil minum yang kami bawa dari rumah. Ternyata Nisa tertidur dalam gerobak. Di samping gerobak aku dan Naili menenggak minuman yang kami bawa. Seperti biasa, Naili mulai banyak bercerita tentang apa yang dia temui saat berada di antara tumpukan sampah tadi. Selalu ada saja yang membuatku tertawa saat mendengar cerita Naili. Sebenarnya akan tambah seru ketika ada Nisa. Tapi sekarang Nisa sedang sakit dan tidak ikut bercanda bersama kami.

Nisa tidur dengan pulas. Sudah hampir jam 11.00 tapi dia belum juga bangun. Aku coba mendekati gerobak untuk membangunkannya. Aku tatap wajah Nisa lekat-lekat. Ia tampak lebih kurus dari sebelumnya. Dalam hati aku menyesal karena tak begitu memperhatikan kesehatannya sampai-sampai ia sakit seperti ini. Aku usap kening Nisa perlahan. Dingin. Dingin sekali. Aku pegang tubuhnya. Semuanya dingin.

“Nisa, bangun nak, kita segera pulang.”

Aku coba membangunkannya. Tapi tak sedikitpun Nisa bergerak. Aku goncang-goncangkan tubuhnya. Sama saja. ia masih pada posisi semula. Tak berubah sedikitpun. Ya Tuhan, apa yang terjadi dengan anakku? Akhirnya aku melakukan hal yang sama sekali tidak ingin kulakukan sebenarnya. Aku letakkan telunjukku di bawah hidung Nisa. Tak ada hembusan napas sedikitpun. Aku pegang pergelangan tangannya tepat di urat nadi. Tak ada yang berdenyut. Aku tarik napas panjang dan kulepaskan pelan-pelan. Tanpa sadar ada butiran kecil yang mengalir di pipiku.

“kau telah pergi, nak.”

Tak ada siapapun di sini. Hanya aku, Naili dan tumpukan sampah yang menggunung. Aku merogoh saku celanaku. Hanya ada uang Rp. 6000. Tak mungkin cukup untuk membeli kain kafan yang bisa membungkus tubuh Nisa dengan sempurna. Air mataku semakin deras mengalir. Aku merasa menjadi lelaki paling kalah di dunia. Tak bisa memberi kebahagiaan sedikitpun untuk orang-orang yang kucintai. Bahkan di saat-saat terakhir Nisa, belum juga aku mampu menempatkannya di tempat yang layak. Maafkan bapak, nak. Maafkan bapak.

Melihatku menangis tersedu, Naili pun mendekat. Ia mencari tau apa yang terjadi denganku.

“bapak kenapa?”

“tidak apa-apa nak, ayo kita pulang.”

Aku mengajak Naili pergi meninggalkan TPS Manggarai. Aku bermaksud menuju stasiun Tebet. Jenazah Nisa akan kumakamkan di kampung pemulung di Kramat, Bogor. Aku berharap di sana akan mendapatkan bantuan dari sesama pemulung. Dengan mendorong gerobak berisikan jenazah Nisa, aku menggandeng Naili, berjalan menuju stasiun Tebet. Kepala Nisa kubiarkan terbuka, agar tak seorangpun tau jika Nisa telah menghadap Sang Khalik.

***

Pukul 12.30 kami sampai di stasiun Tebet. Aku langsung menuju mushola yang ada di sana untuk shalat dzuhur. Naili aku suruh untuk tetap di luar untuk menunggui gerobak Nisa. Usai sholat, aku membopong jenazah Nisa dan menggandeng Naili menuju Loket untuk memberi tiket. Setelah tiket kami dapatkan, kami duduk di sebuah bangku panjang sambil menunggu kedatangan kereta.

“sukirno !”

Seperti ada yang memanggil namaku. Aku menoleh, mencoba mencari dari mana arah sumber suara. Ternyata parmadi. Teman sesama pemulung yang tinggal di kampung sebelah.

“kemana saja, kamu, nggak pernah kelihatan?”

“anakku sakit, jadi harus menunggunya di rumah.”

“siapa? Nisa atau Naili?”

“si bungsu.”

“oh, ini, (parmadi memegang tubuh Nisa). Dingin sekali !”

Aku menceritakan apa yang sebenarnya terjadi padanya. Parmadi terkejut. Suaranya mengundang perhatian orang-orang di sekitar kami. Seketika orang-orang berkerumun untuk memastikan apa yang mereka dengar. Beberapa orang di antara mereka mencurigai Nisa meninggal akibat korban kejahatan. Aku menjelaskan dengan sekuat tenaga bahwa nisa meninggal karena muntaber. Bukan menjadi korban kejahatan. Tapi penjelasanku tidak diterima.

Mereka membawa kami ke kantor polisi tebet secara paksa. Mau tidak mau aku pun mengalah. Dengan tetap menggendong jenazah Nisa, aku dan Naili digelandang ke kantor polisi. Sesampainya di sana, aku diwawancarai seorang polisi bernama Hermawan. Aku tau nama itu dari pin yang terpasang di dada sebelah kanannya. Aku jawab semua pertanyaannya dengan jujur. Kuceritakan bahwa Nisa meninggal karena muntaber sejak satu minggu yang lalu. Polisi itu tidak serta merta percaya. Ia memintaku membawa jenazah Nisa ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) untuk diautopsi. Aku menolak dan bersikukuh untuk segera memakamkan jenazah Nisa di Bogor. Permintaanku tidak didengarkan. Kami dibawa ke RSCM dengan menaiki ambulans hitam.

Tidak ada lagi yang bisa kuperbuat selain pasrah. Pukul 14.30 kami tiba di RSCM. Pada petugas rumah sakit aku ngotot meminta surat perizinan pulang, agar aku segera memkamkan jenazah Nisa. Lagi-lagi suaraku tak diindahkan. Aku hanya bisa bersandar di tembok dengan air mata yang terus bercucuran. Naili yang ada di sampingku nampak belum paham dengan apa yang sedang terjadi. Dia hanya diam. Aku belai kepalanya, dan ku bawa ia ke pangkuanku.

“kenapa Nisa dibawa orang-orang itu pak? Kok kita nggak ikut ke sana juga?”

“tidak apa-apa Naili, adikmu mau diobati biar cepat sembuh. Kita doakan saja.”

Setelah dua jam menunggu, akhirnya pihak rumah sakit mengeluarkan surat perizinan pulang. Aku mengambilnya di bagian administrasi. Tidak ada uang sepeserpun yang aku punya sekarang. Apalagi untuk menyewa ambulans. Akhirnya dengan sarung kumal yang kupunya, aku gendong jenazah Nisa yang sudah terbalut kain kafan. Naili aku tuntun di sampingku. Kami berjalan meninggalkan rumah sakit.

Aku bertekat, apapun yang terjadi, aku harus segera menuju Kramat untuk memakamkan jenazah Nisa. Beberapa pedagang asongan di RSCM memberikan kami minuman dan beberapa potong roti sebagai bekal selama di perjalanan. Di bawah langit jingga, ditemani mentari yang mulai menuju ke peraduannya, kami berjalan. Menyusuri jalanan raya yang sejak pagi menjadi saksi kerasnya kehidupan ibukota. Setiap pengemudi yang berlalu melewati kami, selalu memandang dengan tatapan yang tidak biasa. Mungkin bagi mereka suatu pemandangan yang aneh melihat seorang lelaki berjalan menggendong mayat dan menuntun anak perempuannya. Aku tidak peduli. Yang kutahu, aku harus cepat berada di Kramat. Mengantarkan anakku, Nisa, menuju peristirahatan terakhirnya. Tenanglah anakku, kita segera sampai.

***













Terinspirasi dari sebuah kisah yang beredar di facebook dengan judul Ayah Menggendong Mayat Anaknya Dari RSCM Ke Bogor Karena Tak Mampu Bayar Ambulan !!”