“Naili,
bangunkan adikmu. Sudah siang ini, Bapak mau berangkat.”
“ya, pak.”
Naili berlari
masuk ke rumah untuk membangunkan adiknya. Sementara aku kembali menyiapkan
gerobak yang akan kubawa memulung. Tumben sekali nisa bangun sampai siang
begini. Biasanya dia sudah bangun sejak subuh tadi dan ikut sholat berjamaah di
Mushola bersama aku dan Naili. Setelah itu mereka mengaji bersama Ustadz Rohim
di Mushola sampai pukul 06.00, sedangkan aku langsung pulang ke rumah untuk
menyiapkan sarapan. Usai mengaji, biasanya mereka berdua bermain di samping
mushola dan baru pulang saat aku memanggil mereka untuk sarapan.
“Nisa tidak
mau bangun pak,” Naili berdiri di tengah pintu dengan agak menggerutu.
Aku semakin
bertanya-tanya, ada apa dengan nisa? Aku pun segera masuk ke rumah untuk
melihat keadaannya. Naili pun mengikutiku di belakang. Aku lihat Nisa masih
terbaring dengan berselimut. Aku dekati dan kupegang tubuhnya. Panas sekali.
“kamu sakit
nak? Makan dulu ya, bapak tadi masak kangkung, kesukaanmu.”
Nisa masih
saja diam dan hanya menggelengkan kepala.
“Nisa pusing
pak,” jawabnya.
“sebentar ya
nak, bapak ambilkan kompres dulu.”
Aku bergegas
menuju dapur untuk mencari air dan kain untuk mengompres. Rumah kami yang kecil
ini berukuran 3x4 meter. Hanya ada dua ruang di dalamnya, satu kamar tidur yang
sekaligus merangkap sebagai ruang tamu dan ruang keluarga, dan satunya lagi
dapur. Sedangkan kamar mandi kami berada di belakang rumah. Belum layak disebut
kamar mandi sebenarnya, karena hanya sebidang tanah yang aku skat dengan
triplek. Di dalamnya pun hanya ada sebuah bak mandi plastik sebagai tempat air.
Itupun kalau ada airnya, karena kami hanya mengandalkan aliran air dari seorang
tetangga yang waktu itu berkenan membagi airnya dengan kami. Kamar mandi itu
lebih kami fungsikan untuk mencuci piring dan pakaian saja. sedang untuk
kepentingan mandi, berwudhu dan buang hajat, kami lebih sering menggunakan
kamar mandi mushola. Untungnya warga sini bisa menerima. Aku kembali ke kamar
dengan panci beisikan air dingin dan sepiring nasi untuk Nisa.
“Nisa, makan
dulu ya nak, setelah itu minum obat. Kak Naili tolong bapak belikan parasetamol
untuk adikmu, di warung pak Slamet.”
“ya pak,
uangnya di mana?”
“di sebelah
rak piring, di atas kardus, ada uang lima ribu”
“ya pak, nanti
kembalianya buatku ya,”
“boleh”
Sementara
Naili membeli obat, aku menyuapi Nisa. Ia makan dengan tahu saja. Ya,
pengahasilanku sebagai pemulung kardus dan botol plastik, hanya cukup untuk
membeli sayur dan lauk tahu atau tempe. Dengan uang sepuluh ribu per hari aku
bagi penghasilanku itu untuk keperluan makan maksimal lima ribu, dan sisanya
untuk uang jajan anak-anak serta keperluan lainnya.
“ini minum
dulu Nis, sambil menunggu kak Naili datang, setelah itu minum obat.”
“Assalamualaikum....”
“Waalaikumsalam,
nah ini kak Naili sudah sampai.”
“bapak,
obatnya tinggal satu-satunya ini.”
“oh, ya sudah
tidak apa-apa. Nisa, minum obatnya dulu ya nak, setelah itu kamu tidur.”
Setelah minum
obat, nisa kembali tidur.
“Naili, kamu
di rumah saja ya, temani nisa. Bapak berangkat kerja dulu. Jangan lupa
dikompres, biar panasnya cepat turun.”
Aku berangkat
bekerja dengan perasaan yang tidak enak. Meninggalkan kedua anakku sendiri di
rumah, dengan si bungsu sakit. Biasanya mereka berdua ikut membantuku memulung
dari Manggarai sampai ke salemba, dan baru tengah hari kami kembali ke rumah. Setelah itu kami mulai memulung
lagi hingga sore. Ada sesak di dada saat mengingat usia kedua anakku yang
sebenarnya sudah harus mengenyam pendidikan. Naili, usianya sekarang enam
tahun, dia seharusnya sudah duduk di kelas 1. Sedangkan Nisa sekarang berusia
empat tahun, usia yang layak untuk anak TK. Tapi yang mereka dapatkan justru
harus menemaniku, berada di tengah tumpukan sampah, di bawah teriknya matahari.
Tapi tak pernah sekalipun aku dapati raut penyesalan dari wajah mereka. Mereka selalu menjalani hari-hari dengan
keceriaan. Hanya saja suatu kali pernah Nisa bertanya padaku.
“Bapak, Sita
kemarin diantar sekolah sama ibunya. Aku mau diajak, tapi aku nggak mau. Aku
pengen diantar sama bapak aja, kalau aku sekolah nanti.”
Perkataan
Naili seakan menampar naluriku sebagai seorang ayah. Aku merasa barsalah belum
bisa menyekolahkan kedua anakku pada waktu yang semestinya.
“Tahun depan
ya nak, bapak janji akan menyekolahkan kamu dan Nisa. Sekarang kalian bantu
bapak cari uang dulu biar tahun depan kalian bisa sekolah.”
“iya pak,
Nalili sama Nisa mau bantu bapak cari uang dulu, buat ongkos kami sekolah.”
Aku hanya
tersenyum lega, mendengar jawaban Naili. Entah apa yang membuat kedua anakku
begitu menerima soal keterlambatan sekolah mereka. Mungkin mereka memahami
betul betapa susahnya aku mengumpulkan rupiah untuk sekedar menyambung hidup.
Jadi mereka tidak terlalu banyak menuntut dariku. Merekalah salah satu keadilan
Tuhan yang Ia tunjukkan padaku. Di tengah himpitan ekonomi yang benar-benar
mencekik urat nadi, Ia kirimkan dua malaikat kecil yang menjadi penyejuk dan
pelita bagiku. Merekalah alasanku tersenyum dan
tetap bertahan di tengah kerasnya kehidupan. Aku telah berjanji akan
menyekolahkan mereka tahun depan. Ya, bapak berjanji anak-anakku. Apapun yang
terjadi, tahun depan kalian harus bersekolah. Menimba ilmu untuk menggapai
mimpi-mimpi yang kalian gantungkan.
***
Sudah tiga
hari, tapi Nisa belum juga membaik. Sekarang justru sering muntah-muntah dan
buang air besar yang bekali-kali. Apa mungkin ini gejala muntaber? Sebaiknya
nisa kubawa ke puskesmas saja. tapi uang yang kupunya tinggal lima ribu.
Kemarin seharian aku tidak bekerja karena harus menemani dan menggendong nisa
bolak-balik ke kamar mandi. Di sisi lain, aku takut keadaan Nisa semakin
memburuk jika dibiarkan begini saja. Baiklah, Nisa tetap harus ke puskesmas
hari ini. Berapapun biayanya, itu urusan nanti. Toh, kalau memang uangku tidak
cukup, aku masih bisa berhutang.
Bersama Naili,
aku membawa Nisa ke puskesmas. Karena kondisinya masih lemah, Nisa harus aku
gendong sampai sana. Jarak rumah kami dengan ke puskesmas cukup dekat, hanya 15
menit. Sehingga kami menempuhnya dengan berjalan kaki.
Sesampainya di
puskesmas, aku langsung menuju ke loket pendaftaran dan mengambil nomor
antrean. Kebetulan hari ini tidak terlalu banyak pasien, jadi kami tidak
terlalu lama menunggunya. Sambil menuggu, aku dan kedua anakku duduk di bangku
antrean paling belakang. Kami sengaja memilihnya karena bangku itu yang paling
dekat dengan kipas angin. Ternyata kami
kelelahan setelah berjalan kaki di bawah matahari yang terik. Nisa masih lemah,
ia terbaring di pangkuanku. Sedangkan Naili duduk di sampingku sambil terus mengipas
wajahnya dengan brosur yang ia ambil dari loket tadi. Aku usap kening Nisa,
pikiranku melayang membayangkan kemungkinan yang sedari tadi menggelayut di
kepalaku. Semoga biaya pengobatannya tidak lebih dari lima ribu.
“Khaerunnisa...”
Suara perawat
mengagetkan lamunanku. Ternyata sudah tiba giliran Nisa. Aku membangunkan Nisa
dan menggendongnya masuk ke ruang pemeriksaan. Naili tidak ikut masuk, ia
memilih tetap tinggal di luar.
Memasuki ruang
pemeriksaan, kami disambut senyum ramah dari seorang perempuan yang duduk di
belakang meja. Wajahnya masih tampak segar, aku menduga ia seorang ibu muda
yang baru mempunyai anak satu. Usianya mungkin sekitar 28 atau 29 tahun.
“silahkan
duduk pak.”
“terimakasih
dok,”
“bagaimana
pak, ada keluhan apa?”
“ini dok, anak
saya, sudah tiga hari sakit. Awalnya cuma demam biasa tapi kok hari berikutnya
sering muntah dan buang air besar. Apa itu gejala muntaber dok?”
“ oh, ini yang
sakit adik kecil ya? Siapa namanya?”
“Nisa, dok.”
“ok. Nisa,
coba sekarang naik ke tempat tidur, biar dokter periksa.”
Aku membantu membaringkan
Nisa di atas tempat tidur. Dokter mulai memeriksanya. Setelah selesai ia
kembali duduk di belakang meja. Sementara Nisa masih berbaring di tempat tidur.
“bagaimana,
dok?”
“Begini pak,
nisa memang sudah positif terkena muntaber. Kondisinya sudah sangat lemah. Ia
kehilangan banyak cairan. Saya sarankan Nisa diopname untuk mendapatkan
penanganan medis secara lebih intensif.”
“apa tidak
bisa rawat jalan saja dok?”
“kondisi Nisa
benar-benar menghawatirkan pak, saya takut terjadi sesuatu kalau nisa tidak
mendapat penanganan secara intensif.”
“maaf dok,
saya tidak punya uang untuk membayar biaya pengobatan. Saya juga tidak bisa
meninggalkan pekerjaan saya dengan menunggui Nisa di sini.”
Dokter itu
menghela napas. Ia tampak sedikit kecewa dan tak punya alasan lagi untuk tetap
memaksaku mengizinkan Nisa diopname.
“baiklah pak,
kalau begitu saya buatkan resep. Obat ini bisa ditebus di apotek sebelah loket
pendaftaran. Tidak perlu bayar ya pak. Kalau boleh tau, dengan bapak siapa?”
“sukirno dok.”
“saya Yunita,
silahkan pak, ini resepnya. Tolong diminumkan dengan teratur, makanan Nisa juga
harus diperhatikan. Tidak boleh makan yang asam-asam, dan idak boleh
terlambat.”
“iya dok,akan
saya perhatikan makanannya.”
“kalau ada
apa-apa silahkan konsultasi saja.”
“baik dok,
saya pamit dulu. Terimakasih, selamat siang.”
“sama-sama
pak, selamat siang.”
Dokter yunita
membantuku menggendong Nisa. Kami keluar meninggalkan ruang periksa. Aku menuju
apotek untuk menebus obat setelah itu memanggil Naili yang tengah asik bermain
di samping kolam ikan. Kamipun pulang ke rumah.
***
Aku menatap
wajah kedua anakku yang sedang tertidur pulas. Mereka tampak polos tanpa
terbebani oleh pahitnya hidup. Kadang, aku merasa bersalah tidak bisa memberi
kehidupan yang layak untuk mereka. Atau mungkin Tuhan yang salah mengirimkan
dua malaikat kecil ini pada kubangan hidupku. Seringkali aku menangis jika
mengingat semua yang menimpaku. Sekarang tak sepeserpun aku menyimpan uang.
Terakhir yang kupunya adalah satu lembar uang lima ribu yang sudah kugunakan
untuk berobat Nisa tadi sore. Besok, aku tak tau harus memberi makan apa pada
mereka berdua. Sedangkan Nisa, tidak boleh terlambat makan. Seharian ini aku
tidak bekeja karena harus menunggui Nisa.
Ah, andai saja
Ratmi masih di sini. Mungkin keadaannya akan berbeda. Aku bisa tetap bekerja
untuk menyambung hidup, dan urusan anak-anak bisa ditangani Ratmi, apalagi saat
mereka sakit seperti ini. Namun kenyataan berkata lain. Ratmi tak tahan hidup
dalam kemiskinan bersamaku. Dia pergi meninggalkan kami saat Nisa baru berusia
satu tahun. Tidak ada kata perpisahan, yang ada hanyalah secarik kertas yang
kutemukan dia atas bantal sebagai tanda bahwa ia telah pergi.
Pagi itu, saat
bangun tidur aku seakan kembali masuk ke dalam mimpi. Mimpi yang begitu menyeramkan,
yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Ditinggal sorang istri di saat aku dan
anak-anakku membutuhkannya. Ratmi mengatakan dalam surat bahwa dia sudah cukup
bersabar hidup bersamaku selama ini. Dia berharap semuanya akan berubah seiring
dengan berjalannya waktu. Namun ternyata keadaan tak juga membaik. Kami masih
tetap hidup dalam kemiskinan. Dia pun tak tahan dan tak lagi percaya padaku.
Dia pergi entah kemana dan sampai sekarang kami tak tahu di mana keberadaannya.
Sudahlah, tak
perlu lagi mengingat masa lalu. Yang terpenting sekarang adalah merawat Nisa
agar lekas sembuh dan mengembalikan senyumnya. Untuk urusan rizki, aku
percayakan padaMu saja Tuhan. Aku tak pernah ragu akan kekuasaanMu. Tugasku
hanyalah berusaha semaksimal mungkin, sedangkan untuk hasilnya, semua mutlak
menjadi urusanMu.
***
“Bapak, Nisa
nanti ikut bapak saja. Nisa bosan di rumah sendirian.”
“tapi kamu
masih sakit, nak.”
“Nisa bisa
tidur di gerobak bapak. Di rumah sepi.”
Selama tiga
hari kemarin Nisa memang sendirian di rumah. Naili ikut denganku memulung
karena ada permintaan dari juragan untuk mengumpulkan kardus dan botol plastik
lebih banyak. Lumayan, bisa menambah pemasukan, untuk berobat Nisa.
Hari ini Nisa
tidak mau ditinggal sendiri. Dia ingin ikut, sementara keadaannya masih sakit.
Ia masih sering muntah-muntah walaupun buang air besarnya sudah berkurang. Tapi
kondisinya masih benar-benar lemah. Setelah aku pikir, mungkin ada baiknya juga
aku mengajak serta Nisa. Dia bisa merasakan udara bebas dan bertemu teman-temannya.
Mudah-mudahan dengan seperti itu bisa memacu keinginannya untuk lekas sembuh.
Tepat pukul
08.00 pagi. Gerobak telah kupersiapkan. Nisa kubaringkan dalam gerobakku itu.
Kami pun berangkat. Melangkahkan kaki, menyusuri setiap ruas jalan di bawah
hangatnya sinaran mentari pagi ini. Semburat senyum terpancar dari wajah Nisa.
Dia tampak bahagia bisa merasakan kembali udara luar setelah beberapa hari
terperangkap dalam kamarnya yang pengap. Begitu pula dengan Naili. Yang
kulihat, dia tampak bahagia bisa berbagi keceriaan lagi bersama Nisa. Bagi
kami, saat-saat memulung adalah saat yang paling indah. Kami bisa bercanda,
berbagi cerita Dan tertawa bersama. Melupakan kepahitan hidup dan segala
kepenatannya. Indah. Indah sekali. Terimakasih anak-anakku, kalianlah harta
terindah yang pernah kumiliki.
Kami sampai di
tempat pembuangan sampah Manggarai. Aku meletakkan gerobakku di samping tembok
pembatas yang agak teduh, agar Nisa tidak kepanasan. Sementara aku dan Naili
mulai beraksi mencari kardus dan botol-botol plastik yang ada.
“kamu tunggu
di sini saja ya nak, bapak sama kak Naili ke sana dulu.”
“iya, bapak.”
Perlahan aku
dan Naili mulai menjauh dari gerobak. Berjalan di antara tumpukan sampah,
memilih dan memilah botol-botol plastik dan kardus yang ada di sana. Tidak
terlalu banyak hasil yang kami dapat hari ini. Mungkin tadi telah ada pemulung
lain yang datang lebih awal sebelum kami. Aku merasakan terik matahari tidak
lagi bersahabat. Panasnya mulai terasa menyengat di kulit. Mungkin ini sudah
pukul 10.00 lebih. Aku panggil Naili untuk segera beristirahat.
Kami berdua
kemudian menuju gerobak untuk mengambil minum yang kami bawa dari rumah.
Ternyata Nisa tertidur dalam gerobak. Di samping gerobak aku dan Naili
menenggak minuman yang kami bawa. Seperti biasa, Naili mulai banyak bercerita
tentang apa yang dia temui saat berada di antara tumpukan sampah tadi. Selalu
ada saja yang membuatku tertawa saat mendengar cerita Naili. Sebenarnya akan
tambah seru ketika ada Nisa. Tapi sekarang Nisa sedang sakit dan tidak ikut
bercanda bersama kami.
Nisa tidur
dengan pulas. Sudah hampir jam 11.00 tapi dia belum juga bangun. Aku coba
mendekati gerobak untuk membangunkannya. Aku tatap wajah Nisa lekat-lekat. Ia
tampak lebih kurus dari sebelumnya. Dalam hati aku menyesal karena tak begitu
memperhatikan kesehatannya sampai-sampai ia sakit seperti ini. Aku usap kening
Nisa perlahan. Dingin. Dingin sekali. Aku pegang tubuhnya. Semuanya dingin.
“Nisa, bangun
nak, kita segera pulang.”
Aku coba
membangunkannya. Tapi tak sedikitpun Nisa bergerak. Aku goncang-goncangkan
tubuhnya. Sama saja. ia masih pada posisi semula. Tak berubah sedikitpun. Ya
Tuhan, apa yang terjadi dengan anakku? Akhirnya aku melakukan hal yang sama
sekali tidak ingin kulakukan sebenarnya. Aku letakkan telunjukku di bawah
hidung Nisa. Tak ada hembusan napas sedikitpun. Aku pegang pergelangan
tangannya tepat di urat nadi. Tak ada yang berdenyut. Aku tarik napas panjang
dan kulepaskan pelan-pelan. Tanpa sadar ada butiran kecil yang mengalir di
pipiku.
“kau telah
pergi, nak.”
Tak ada
siapapun di sini. Hanya aku, Naili dan tumpukan sampah yang menggunung. Aku
merogoh saku celanaku. Hanya ada uang Rp. 6000. Tak mungkin cukup untuk membeli
kain kafan yang bisa membungkus tubuh Nisa dengan sempurna. Air mataku semakin
deras mengalir. Aku merasa menjadi lelaki paling kalah di dunia. Tak bisa
memberi kebahagiaan sedikitpun untuk orang-orang yang kucintai. Bahkan di
saat-saat terakhir Nisa, belum juga aku mampu menempatkannya di tempat yang
layak. Maafkan bapak, nak. Maafkan bapak.
Melihatku
menangis tersedu, Naili pun mendekat. Ia mencari tau apa yang terjadi denganku.
“bapak
kenapa?”
“tidak apa-apa
nak, ayo kita pulang.”
Aku mengajak
Naili pergi meninggalkan TPS Manggarai. Aku bermaksud menuju stasiun Tebet.
Jenazah Nisa akan kumakamkan di kampung pemulung di Kramat, Bogor. Aku berharap
di sana akan mendapatkan bantuan dari sesama pemulung. Dengan mendorong gerobak
berisikan jenazah Nisa, aku menggandeng Naili, berjalan menuju stasiun Tebet.
Kepala Nisa kubiarkan terbuka, agar tak seorangpun tau jika Nisa telah
menghadap Sang Khalik.
***
Pukul 12.30
kami sampai di stasiun Tebet. Aku langsung menuju mushola yang ada di sana
untuk shalat dzuhur. Naili aku suruh untuk tetap di luar untuk menunggui
gerobak Nisa. Usai sholat, aku membopong jenazah Nisa dan menggandeng Naili
menuju Loket untuk memberi tiket. Setelah tiket kami dapatkan, kami duduk di
sebuah bangku panjang sambil menunggu kedatangan kereta.
“sukirno !”
Seperti ada
yang memanggil namaku. Aku menoleh, mencoba mencari dari mana arah sumber
suara. Ternyata parmadi. Teman sesama pemulung yang tinggal di kampung sebelah.
“kemana saja,
kamu, nggak pernah kelihatan?”
“anakku sakit,
jadi harus menunggunya di rumah.”
“siapa? Nisa
atau Naili?”
“si bungsu.”
“oh, ini,
(parmadi memegang tubuh Nisa). Dingin sekali !”
Aku
menceritakan apa yang sebenarnya terjadi padanya. Parmadi terkejut. Suaranya
mengundang perhatian orang-orang di sekitar kami. Seketika orang-orang
berkerumun untuk memastikan apa yang mereka dengar. Beberapa orang di antara
mereka mencurigai Nisa meninggal akibat korban kejahatan. Aku menjelaskan
dengan sekuat tenaga bahwa nisa meninggal karena muntaber. Bukan menjadi korban
kejahatan. Tapi penjelasanku tidak diterima.
Mereka membawa
kami ke kantor polisi tebet secara paksa. Mau tidak mau aku pun mengalah.
Dengan tetap menggendong jenazah Nisa, aku dan Naili digelandang ke kantor
polisi. Sesampainya di sana, aku diwawancarai seorang polisi bernama Hermawan.
Aku tau nama itu dari pin yang terpasang di dada sebelah kanannya. Aku jawab
semua pertanyaannya dengan jujur. Kuceritakan bahwa Nisa meninggal karena
muntaber sejak satu minggu yang lalu. Polisi itu tidak serta merta percaya. Ia
memintaku membawa jenazah Nisa ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) untuk
diautopsi. Aku menolak dan bersikukuh untuk segera memakamkan jenazah Nisa di
Bogor. Permintaanku tidak didengarkan. Kami dibawa ke RSCM dengan menaiki ambulans
hitam.
Tidak ada lagi
yang bisa kuperbuat selain pasrah. Pukul 14.30 kami tiba di RSCM. Pada petugas
rumah sakit aku ngotot meminta surat perizinan pulang, agar aku segera
memkamkan jenazah Nisa. Lagi-lagi suaraku tak diindahkan. Aku hanya bisa
bersandar di tembok dengan air mata yang terus bercucuran. Naili yang ada di
sampingku nampak belum paham dengan apa yang sedang terjadi. Dia hanya diam.
Aku belai kepalanya, dan ku bawa ia ke pangkuanku.
“kenapa Nisa
dibawa orang-orang itu pak? Kok kita nggak ikut ke sana juga?”
“tidak apa-apa
Naili, adikmu mau diobati biar cepat sembuh. Kita doakan saja.”
Setelah dua
jam menunggu, akhirnya pihak rumah sakit mengeluarkan surat perizinan pulang.
Aku mengambilnya di bagian administrasi. Tidak ada uang sepeserpun yang aku
punya sekarang. Apalagi untuk menyewa ambulans. Akhirnya dengan sarung kumal
yang kupunya, aku gendong jenazah Nisa yang sudah terbalut kain kafan. Naili
aku tuntun di sampingku. Kami berjalan meninggalkan rumah sakit.
Aku bertekat,
apapun yang terjadi, aku harus segera menuju Kramat untuk memakamkan jenazah
Nisa. Beberapa pedagang asongan di RSCM memberikan kami minuman dan beberapa
potong roti sebagai bekal selama di perjalanan. Di bawah langit jingga,
ditemani mentari yang mulai menuju ke peraduannya, kami berjalan. Menyusuri
jalanan raya yang sejak pagi menjadi saksi kerasnya kehidupan ibukota. Setiap
pengemudi yang berlalu melewati kami, selalu memandang dengan tatapan yang
tidak biasa. Mungkin bagi mereka suatu pemandangan yang aneh melihat seorang
lelaki berjalan menggendong mayat dan menuntun anak perempuannya. Aku tidak
peduli. Yang kutahu, aku harus cepat berada di Kramat. Mengantarkan anakku,
Nisa, menuju peristirahatan terakhirnya. Tenanglah anakku, kita segera sampai.
***
Terinspirasi
dari sebuah kisah yang beredar di facebook dengan judul “Ayah Menggendong Mayat Anaknya Dari RSCM Ke
Bogor Karena Tak Mampu Bayar Ambulan !!”